Kamis, 16 Oktober 2008

REPORMASI PENDIDIKAN GURU SEBAGAI TANGGUNG JAWAB LPTK

REFORMASI PENDIDIKAN GURU
Setiap aspek dunia pendidikan termasuk masalah kualitas guru saat ini menghadapi tantangan baik global, nasional, maupun lokal. Pada tatanan global seluruh umat manusia di dunia dihadapkan pada tantangan yang bersumber dari perkembangan global sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu perngetahuan dan teknologi. Robert B Tucker (2001) mengidentifikasi adanya sepuluh tantangan di abad 21 yaitu:
(1) kecepatan (speed),
(2) kenyamanan (convinience),
(3) gelombang generasi (age wave),
(4) pilihan (choice),
(5) ragam gaya hidup (life style),
(6) kompetisi harga (discounting),
(7) pertambahan nilai (value added),
(8) pelayananan pelanggan (costumer service),
(9) teknologi sebagai andalan (techno age),
(10) jaminan mutu (quality control).
Menurut Robert B Tucker kesepuluh tantangan itu menuntut inovasi dikembangkannya paradigma baru dalam pendidikan seperti:
-accelerated learning,
-learning revolution,
-megabrain,
-quantum learning,
-value clarification,
-learning than teaching,
-transformation of knowledge,
-quantum quotation (IQ, EQ, SQ, dll.),
-process approach,
-Forfolio evaluation,
-school/community based management,
-school based quality improvement,
-life skills, competency based corriculum.
Pada tatanan nasional, dunia pendidikan ditantang dengan berbagai upaya pembaharuan dan pembangunan nasional yang lebih berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia. Lahirnya Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan berrbagai produk ketentuan hukum lainnya merupakan satu tantangan yang harus dihadapi oleh LPTK yang mempunyai tanggung jawab dalam menghasilkan guru yang berkualitas. Pada tatanan lokal dengan penerapan otonomi daerah, setiap daerah mempunyai peluang untuk menata pengembangan tenaga guru yang lebih berkualitas dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan daerah.
Berkaitan dengan masalah dan kendala guru sebagaimana dikemukakan di atas, cukup banyak kritikan tajam yang ditujukan kepada LPTK khususnya yang berkenaan dengan ketidak mampuan LPTK menghasilkan guru yang berkualitas. Menurut Linda Darling Hammond dan Joan Baratz Snouwden (2007) dalam tulisannya yang berjuudul: ”Good Teacher in Every Classroom: Preparing the High Qualified Teachers Our Children Deserve”., ada beberapa alasan mengapa hal itu terjadi, yaitu
pertama; pemerintah dan masyarakat belum menunjukkan keseriusannya dalam menangani hak-hak anak terutama dari kelompok miskin,
kedua, penyempitan makna konvensional yang menyatakan bahwa pengajaran semata-mata sebagai proses penyampaian materi sebagaimana digariskan dalam kurikulum;
ketiga, banyak pihak yang tidak memahami hakekat mengajar yang sebenarnya,
keempat, hampir semua meyakini bahwa yang penting adalah pengajaran dan bukan pembelajaran dari peserta didik,
kelima masih longgarnya tuntutan persyaratan untuk menjadi guru yang berkualitas,
keenam para peneliti dan pendidik guru baru sampai pada kesepakatan mengenai pengetahuan dasar yang diperlukan oleh guru untuk memasuki kelas.
Pendidikan guru di masa lalu dan hingga sekarang sering dikritik terlalu sempit yang dibatasi dengan mempersiapkan pengetahuan yang akan diajarkan di kelas. Sementara kurang memperhatikan hal-hal yang terkait dengan pemahaman mengernai peserta didik, pengembangan profesi, pembentukan kepribadian, dan landasan pedagogis. Sebagai akibatnya ialah guru hanya mampu tampil sebagai penyampai pengetahuan dan tidak tampil sebagai guru profesional sebagaimana dituntut oleh Undang-undang Guru dan Dosen.
Sehubungan dengan kritikan dan tantangan tersebut maka LPTK harus mau dan mampu melakukan reformasi pola-pola pendidikan guru. Pola-pola lama harus dikembangkan sehingga mampu menghasilkan guru yang berkualitas sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu perlu dilakukan berbagai penataan sistem secara utuh dengan menempatkan proses pengajaran dan pembelajaran sebagai inti dari sistem pendidikan guru. Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel menyebutnya proses interaksi antara pengajaran dan pembelajaran sebagai ”technical core” dalam pendidikan guru. Mereka menyarankan agar pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan dibangun dalam satu sistem yang utuh dengan memperhatikan aspek input, proses, dan output dan terjadi keterpaduan berbagai unsur sub-sistem secara utuh.